Welcome To My Core

14 May 2010

How To Train Your Dragon (part 2)

Sebuah pelajaran moral yang aku anggap paling mengesankan adalah betapapun lemah, kurang, berbedanya diri kita dengan standard baku yang berlaku dimasyarakat, namun keunikan yang kita miliki tetap dapat dijadikan senjata ampuh untuk meraih kesuksesan hidup. Dan kesuksesan itu bisa jadi berbeda dengan yang ayah kita, keluarga, boss dikantor, para motivator, orang kebanyakan gariskan sebagai sebuah kelaziman. Dulu, hanya Copernicus yang mengatakan dunia ini bulat. Ia jelas-jelas berbeda dengan seluruh manusia yang ada saat itu. Ia berpendapat, sedangkan yang lain tidak berpendapat. Mereka hanya menelan bulat-bulat apa yang sudah terlanjur diturunkan dari moyang mereka. Dan kini jika ada orang yang mengatakan bahwa bumi ini datar, pastilah semua orang menganggap orang tadi sudah kehilangan akal warasnya, persis ketika dulu Copernicus dianggap tidak waras oleh orang sejamannya. Jadi jelas, bahwa kebenaran tidak selalu identik dengan gerombolan.

Para penyendiri, atau mereka yang dibuat sendiri, karena dianggap aneh oleh sekitar -walaupun tidak selalu mutlak benar- seringkali membawa pencerahan luar biasa bagi pola pikir yang sudah jenuh. Namun demikian memang tidak dapat disangkal bahwa kita adalah mahluk yang cenderung mengikuti arus masa kebanyakan.

Tapi tunggu dulu, sebelum terlalu jauh ada baiknya jika istilah “kelemahan” atau “perbedaan” dalam hal ini, tentu bukan merupakan sebuah perilaku minus yang memang harus diubah.

Sifat kurangajar dan tidak hormat.
Ketidakjujuran.
Kebiasaan merendahkan.
Berkata kasar dan suka menyakiti orang lain.
Malah belajar.
Penunda.
dll

yang seringkali mewakili ungkapan “Suka atau tidak, sifat ku memang begini” aku rasa diluar kategori pembahasan kita. Itu bukan kelemahan-kelemahan yang dimaksud. Itu sesuatu yang harusnya –jika kita memiliki harga diri yang cukup kuat- mendapat prioritas untuk diperbaiki segera.

Lahir disebuah keluarga miskin.
Tidak punya biaya untuk bersekolah.
Punya keadaan fisik yang serba kurang
(kurang tinggi, kurang cantik, kurang tampan).
Cacat.
Yatim piatu.
Korban brokenhome.
Dianggap bodoh/kurang pandai.
Gagap.
dll.

Adalah sederet keadaan tentunya masuk dalam kategori.

Seorang teman yang dari kecil sangat hobby akan seni ketrampilan tangan baru-baru ini curhat padaku. Ia merasa keluarga –biasanya hambatan dan hinaan itu datang dari orang-orang terdekat- menganggap hobby dan ketrampilannya ini tidak memiliki masa depan, sehingga keluarga mengharuskan ia mencari pekerjaan yang lebih mapan, yang sebenarnya tidak ia sukai. Padahal ada sebuah pengalaman yang sampai kini begitu berkesan dihatinya adalah ketika hasil karyanya dibeli mahal oleh seseorang karena dianggap sangat unik. Ini terjadi ketika ia duduk dikelas enam SD. Tapi apa lacur, orang tuanya menganggap itu semua sebagai sebuah kebetulan belaka.

Lain lagi cerita seorang kenalan, yang menjadi korban orang tua yang brokenhome. Ayah ibu bercerai. Ayah masuk penjara, ibu kawin lagi. Kini tinggalah ia sendiri berjuang bersama kedua adiknya yang masih kecil, bertahan hidup dengan beban psikologi yang begitu berat.

Belum lagi seorang kenalan lain –kali ini wanita- yang karena merasa diri kurang menarik, memutuskan untuk tidak pernah memulai hubungan dengan seorang pria, hingga usia nyaris mendekati empat puluh tahun. “Dari pada terluka, mending tidak”, begitu ungkapan favorite nya.

Seorang karyawan yang di-PHK justru dalam keadaan genting, istrinya sedang hamil tua, anak ke-3 !!!

Seorang istri dengan dua orang anak yang kemudian ditinggal mati oleh sang suami.

Dan lain-lain sebagainya. Mungkin kita tidak sadar bahwa cerita-cerita ini begitu sering hilir mudik didepan hidung kita.

Kontras dengan itu semua, Anthony Robin dalam buku fenomenalnya : The Awakening of Giant Within bercerita tentang sebuah kekuatan luar biasa yang ada pada diri setiap insan. Kekuatan yang seringkali tertidur dan menunggu untuk disadari eksistensinya, untuk kemudian mengambil alih peran hidup yang sementara ini dilakoni dengan tanpa daya.

Uniknya, seringkali kita membayangkan kekuatan itu sebagai sesuatu yang dashyat seperti : naga, harimau atau raksasa. Tentu saja tidak sepenuhnya keliru, karena memang daya dan kekuasaannya memang sehebat mahluk-mahluk tersebut.

Namun sebagaimana hidup yang selalu bermain petak umpet dalam cara-cara siluman (berkah dalam kemalangan, kegagalan mendahului kesuksesan, malaikat dalam rupa tak sewajarnya) kekuatan-kekuatan tadi lebih sering mengambil rupa justru dalam wujud yang sangat tidak kita sukai alias yang tidak kita duga. Kelemahan-kelemahan yang memalukan, yang membuat minder dan menekan urat syaraf itulah wujud mereka mula-mula.

Kini tergantung kita, apakah kita punya cukup keberanian untuk berhadapan dengan kelemahan-kelemahan itu –yang sebenarnya adalah naga, harimau atau raksasa yang sedang malih rupa. Ataukah kita karena putus asa, minder, merasa sial atau disia-siakan oleh hidup memilih balik kanan bubar jalan, atau mendekam dipojok ruangan hingga akhir hidup kita sambil terus bergumam tentang betapa menyedihkannya diriku ini.

Bahkan seekor naga (baca : kekuatan naga) pun perlu dilatih untuk memunculkan kekuatan mereka yang sebenarnya. Bagaimana cara melatihnya ? How to train your dragon ? Simple, dengan mengakui keberadaan mereka, kemudian mensyukuri semua kelemahan, keterbatasan kekurangan dan ketidakstandaran kita, lalu berhadapan face to face dengan hidup ini bersenjatakan kelemahan-kelemahan itu.

Maka segera saja kita akan temukan betapa sesuatu yang kita anggap kelemahan adalah senjata pamungkas yang diberikan Sang Pencipta kepada kita. Dalam arti kata, kita sudah dipersiapkan sebaik mungkin –jauh sebelum kita lahir- untuk menjadi lebih dari sekedar pemenang. DIA adalah pihak yang paling tahu bagaimana cara membentuk kita sehebat yang prototype yang sebenarnya IA rancang.

Oleh Made Teddy Artiana

No comments: